Rendi : “Cantik juga di jari kamu,,, pasti akan lebih cantik lagi kalau cincin ini berada di jari manis Tiara.”

Vivian : (Seketika itu pula hayalan vivi buyar dan iya Kaget) “Apa pak… tiara…?”

Rendi : “Iya…tiara… calon tunangan saya.Ok sekarang aku yakin dengan cincin yang ini dan aku akan menghadiahkan cincin ini ke tiara besok.”

Vivian : (Mendengar kabar itu seketika hati vivi hancur dan matanya berkaca-kaca, dan vivi dengan segera melepas cincin tersebut dan memberikannya ke Rendi) “Maaf pak, saya harus permisi ke Toilet…!”

Vivi pun bergegas lari menuju toilet dengan maksud menghindari rendi agar rendi tidak melihat kesedihannya. Dan sesampainya di Toilet vivi pun tak bisa menahan tangis dan melempiaskan emosinya.

Vivian : “Kamu bodoh vi,,, kamu bodoh… bisa-bisanya kamu berfikir bahwa rendi masih mencintaimu dan berharap ia akan kembali padamu, kamu bodoh vi,,, Ya Tuhan kenapa tidak engkau hapuskan perasaan ini dari dalam hati hamba ya Tuhan, Hamba gak sanggup lagi menahan rasa sakit ini, Tolong bantu hamba…”    (Vivi marah dan mencaci dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenangkan cintanya dengan rendi dia sangat sedih mendengar perkataan rendi yang memutuskan untuk menikahi perempuan lain)

Setelah beberapa menit melampiaskan amarahnya vivi kembali membersihkan mata dan wajahnya yang berantakkan karena menangis, dia sadar kalau rendi pasti sudah menunggu lama, dan setelah selesai ia segera keluar dan menemui rendi kembali.

Vivian : “Maaf pak, saya membuat bapak menunggu lama, gimana cincinnya bapak jadi beli?” (Tanya vivi seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada diriya)

Rendi : “Oh iya,,, jadi… saya membeli cincin yang kamu kenakan tadi.”

Vivian : “iya pak, saya pikir itu sangat indah buat Tiara.”

Rendi : “Vi… mata kamu kenapa?”

Vivian : “Oh… ini… gak apa-apa pak… tadi di toilet kelilipan. Jadi sekarang kita kemana?” (Tanya vivi)

Rendi : “Oh…” (Jawab rendi tenang dan nampak sudah sedikit bersahabat) “saya sudah tidak ingin membeli apa-apa lagi, barangkali kamu mau belanja ?”

Vivian : “Oh… nggak pak… saya tidak ingin membeli apa-apa, saya hanya sedikit lelah hari ini, bagaimana kalau kita kembali ke penginapan saja pak.”

Rendi : “Ok… kita pulang.”

Suasana di mobil pun masih sunyi senyap, kali ini vivi memutuskan untuk tidak duduk di samping rendi, ia memilih duduk di depan bersampingan dengan supir taksi yang sedang mengemudi, tampak sesekali vivi  membersihkan wajahnya menggunakan tisu, air matanya jatuh sendiri menggambarkan betapa ia masih sangat sedih. Rendi diam-diam memperhatikannya dari belakang, sebenarnya rendi mengikuti vivi ketika vivi berpamitan ke toilet tadi dan rendi mendengar tangisan dan ucapan2 vivi di toilet, Rendi mengetahui namun berpura-pura seolah-olah ia tidak tau apa-apa. Rendi memang sengaja memperlihatkan cincin kepada vivi dan berbicara seolah-olah cincin itu akan ia berikan kepada perempuan lain, padahal rendi tidak pernah punya teman perempuan yang bernama tiara apalagi akan segera bertunangan. Semua itu ia lakukan hanya untuk melihat reaksi vivi, ia ingin mengetahui perasaan vivi yang sebenarnya, apakah vivi masih mencintainya atau tidak. Dan ternyata semua pertanyaan rendi terjawab… vivi yang selama ini ia lihat tegar tenyata sangat rapuh dan masih sangat mencintainya. Namun rendi tidak mau terlalu terburu-buru untuk menanyakannya langsung kepada vivi, ia berencana untuk menyelidiki masalah apa yang membuat vivi memutuskan hubungan dan memutuskan untuk selingkuh kalau ternyata ia masih mencintai rendi.

Sesampainya di depan hotel, vivi keluar dan tidak berpamitan dengan rendi,,, kejadian ini benar-benar mengejutkan rendi dan membuat rendi semakin merasa bersalah atas apa yang telah ia lakukan ke vivi. Vivi tidak sanggup lagi menyembunyikan kesedihannya dan berusaha menghindar dari rendi.

Ketika sampai di kamar,,, vivi kembali menangis dan meluapkan emosinya, winda yang sudah terlelap tidurpun terbangun dengan kedatangan vivi.

Winda : “Vi… kamu sudah pulang… kamu nangis lagi yach… ya ampun… cup..cup..cup… vi udah donk kamu yang sabar yach,,, sekarang kamu cerita sama aku, kamu kenapa? Rendi ngapain kamu vi?”

Vivian : “Rendi win,,, rendi…”

Winda : “iya… rendi kenapa vi?”

Vivian : “Rendi akan bertunangan dan akan segera menikan win,,, aku gk tau,,, aku sakit banget win,,, rasanya semuanya berakhir… aku hancur win,,, aku hancur… aku gk mau ketemu dia lagi win… aku gak sanggup…”

Winda : “Menikah,,, Ya Allah, vi kamu yang tabah ya,,, aku yakin kamu kuat ko… gimana kalau sekarang kamu sholat supaya kamu tenang…ok…”

Vivian : (Masih menangis dan tiba-tiba handphonenya berdering)

Winda : “sini biar aku yang jawab…!”

(Dan ternyata yang menelpon adalah perawat dirumah sakit dimana ayah vivi dirawat, perawat tersebut mengabarkan kalau kondisi ayah vivi kritis akibat sakit jantung yang dideritanya. Dan winda segera memberitahu vivi mengenai kondisi ayahnya)

Winda : “Vi… ini telpon dari rumah sakit… mereka bilang papamu kritis vi.”

Vivian : “Apa… Papa kritis… Ya Allah…” (Kesedihanpun tak terbendung kedua sahabat itu sama-sama hanyut dalam kesedihan dan akhirnya vivi memutuskan untuk pulang ke Jakarta malam itu juga, ia ingin melihat kondisi ayahnya dan ingin menemani ayahnya)

Winda : “Vi… kamu yakin mau pulang jam segini… apa gak bisa menunggu sampai besok pagi,,, biar aku bisa nemenin kamu…ya!”

Vivian : “Iya win,,, aku gk apa-apa ko,, kamu tenang aja… aku Cuma gk bisa duduk diam disini dan menunggu kabar ayah hanya melalui telpon, kamu bantu do’a aja y win. Aku pergi dulu…! kamu jaga diri ya..!”

Winda : “Iya… kamu juga yach… nanti setelah sampai jakarta besok aku akan susul kamu di Rumah Sakit ya.”

Vivian : “Iya… makasi win. See u… bye.”

Winda : “bye…”

Sepanjang Perjalanan Pulang vivi gelisah, ia sangat takut kehilangan ayahnya, karena hanya ayahnya lah keluarga yang ia punya saat ini. Tepat pukul 04 subuh iya sampai di Rumah Sakit dan ia langsung menemui ayahnya yang terbaring tak berdaya, dengan menggunakan berbagai macam peralatan medis. Dan tak lama kemudian dokter yang menangani ayahnya memanggil vivi untuk memberitahukan keadaan ayahnya padanya.

Vivian : “Permisi Dok, Dokter memanggil saya…!”

Dokter : “Eh vivi… iya saya memang memanggil kamu. Silakan duduk.”

Vivian : “Gimana keadaan ayah saya dok?”

Dokter : “Jantung ayahmu sudah benar2 rusak vi,,, kami sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”

Vivian : “Tapi dok,,, bukannya setelah operasi kemarin jantung ayah sudah mulai membaik kan.”

Dokter : “Iya vi,,, tadinya memang begitu, namun setelah melihat kondisi ayahmu sampai saat ini tidak ada kemajuan yang baik dari jantungnya.jadi kita hanya bisa berdo’a dan mengharapkan keajaiban dari yang maha kuasa vi.”

Vivian : (Tidak bisa berucap apa-apa lagi,,, hanya air mata yang mengalir menggambarkan kesedihan vivi)

Dokter : “Kamu yang tabah ya vi,,, serahkanlah semuanya kepada Yang Maha Kuasa, semua yang terjadi adalah kehendak Nya, Berdo’alah padanya vi.”

Vivian : “Iya Dok, Terima Kasih banyak (Keluar dari Ruangan dokter dengan perasaan yang teramat sangat sedih namun vivi mencoba untuk tabah dan berdo’a kepada Yang Maha Pencipta dengan sholat.”

Setelah sholat dan Berdo’a vivi kemudian mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’An dengan harapan ayahnya akan mendengarkannya.

Pagi itu jam sudah menunjukan pukul tujuh pagi, Winda,Alek dan Rendi bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta, namun Rendi bertanya-tanya kemana vivi,,, kenapa ia tidak ada bersama winda,dan ia memutuskan untuk menayakan hal itu pada winda.

Rendi : “Winda… Vivi Mana ya… ko saya pagi ini tidak melihat dia…”

Winda : “Oh iya pak,,, saya lupa kasi tau bapak,,, vivi sudah pulang malam tadi pak dengan menggunakan taksi.”

Rendi : “Kalau boleh tau kenapa dia memilih pulang pada malam hari, kenapa tidak bareng2 bersama kita aja ?”

Winda : “Maaf pak,,, tadi malam sepulang dari menemani bapak, vivi menerima telpon dari rumah sakit kalau ayahnya sedang kritis.”

Rendi : “Apa…Ayahnya Kritis,,, Om Arman kritis, memangnya beliau sakit, sakit apa ko saya gak tau!”

Winda : “Iya Pak, Om Arman menderita Serangan Jantung sejak Perusahaan Mereka Bangkrut.”

Rendi : “Baiklah kalau gitu, Lex… ayo kita jalan,,, sampai di Jakarta saya mau langsung menjenguk Om Arman di Rumah Sakit.”

Alex : “Baik Pak.”

Mereka pun berangkat dari Bandung ke Jakarta, Rendi kelihatan gelisah mendengar kabar yang menimpa ayah vivi, karena sebelum hubungan mereka berakhir rendi dan ayahnya vivi sangat akrab.

Sesampainya di Rumah sakit siang itu vivi kelihatan sedang tidur di kursi sambil menemani ayahnya.Winda mencoba membangunkan vivi.

Winda : “Vi… bangun vi,,, ini aku winda… dan ada pak Rendi juga.”

Vivian : (Tersadar dan melihat bahwa sahabatnya sudah berada disampingnya, vivi bangun dari duduknya dan segera memeluk winda sambil menangis)

Winda : “Iya vi… aku tau… kamu yang tabah ya…!”

Vivian : “Kalian baru sampai ya,,, oh ya… pak rendi makasih sudah mau datang kesini.”

Winda : “Iya vi,,,kita baru aja nyampe,,, tadi pak rendi yang langsung ajak kita kesini.”

Vivian : (Melihat kearah rendi) “Makasih pak.”

Rendi : (Mendekati vivi dan memeluk vivi) “kamu yang sabar yach… ayahmu pasti sembuh.”

Vivian : (Membalas pelukan rendi dan menangis tersedu-sedu dipelukan rendi, mereka seakan lupa dengan masalah yang tengah mereka hadapi saat ini yang ada dibenak vivi adalah ayahnya seorang)

Winda : (Melihat kejadian itu winda yang berda di ruangan itu memilih untuk tidak mengganggu rendi dan vivi yang hanyut dalam kesedihan)

Setelah lama melempiaskan kesedihannya di pelukan rendi, vivi baru tersadar kalau rendi bukan kekasihnya lagi dan melepaskan pelukan tersebut.

Vivian : “Maaf …Maafkan saya pak, saya hanyut dalam kesedihan”

Rendi : “Owh… Tidak apa-apa,,, aku yang melakukannya duluan.aku yang seharusnya minta maaf.”

Mereka berdua kembali terasing dalam sepi, membohongi perasaan masing-masing yang masih sangat membutuhkan satu sama lain. Dan dalam keheningan itu vivian mencoba untuk mulai berbicara kepada rendi.

Vivian : “Bapak tidak seharusnya ada disini, bukankah hari ini bapak akan menemui tiara,dan melamarnya…!” (Tanya Vivi)

Rendi : “Owh…iya… saya lupa… kalau begitu saya pergi dulu,,, nanti saya akan kembali lagi.”(masih bersandiwara seolah-olah tiara benar-benar ada)

Vivian : “Makasih pak…sudah menyempatkan diri menjenguk ayah saya.”

Rendi : “Iya vi,,, sama-sama… kamu yang tabah ya…”

Vivian : “Iya Pak.”

(Bersambung ke Bagian 3)